Biografi Pahlawan Nasional – Sultan Mahmud Badaruddin II
Sultan Mahmud Badaruddin II (l:
Palembang, 1767, w: Ternate, 26 November 1862) adalah pemimpin
kesultanan Palembang-Darussalam (1803-1819), setelah masa pemerintahan
ayahnya, Sultan Mahmud Badaruddin.
Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa
kali memimpin pertempuran melawan Britania dan Belanda, diantaranya yang
disebut Perang Menteng. Tahun 1821, ketika Belanda secara resmi
berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan
diasingkan ke Ternate.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.
Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan pada 20 Oktober 2005 menggunakan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai gambar hiasannya. Penggunaan gambar ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, karena gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya.
Konflik dengan Britania
Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan pada 20 Oktober 2005 menggunakan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai gambar hiasannya. Penggunaan gambar ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, karena gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya.
Konflik dengan Britania
Sejak timah ditemukan di Bangka pada
pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran
Britania dan Belanda. Berdalih menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa ini
berniat menguasai Palembang. Awal bercokolnya penjajahan bangsa Eropa
biasanya ditandai dengan penempatan loji (kantor dagang). Di Palembang,
loji pertama Belanda dibangun pada tahun 1742 di tepi Sungai Aur (10
Ulu).
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan
Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles.
Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles
sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang
dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:
Sultan Palembang adalah salah seorang
pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa
gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para
leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting
untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar
tersebut.
Bersamaan dengan adanya kontak antara
Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal
ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir
Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).
Dengan bijaksana, SMB II membalas surat
Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat
dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan
bekerja sama dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama
Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.
Pada 14 September 1811, terjadi
peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda
menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang supaya mengusir Belanda.
Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang
berinisiatif melakukannya.
Raffles terpojok dengan peristiwa loji
Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan
mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles
ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada
perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II.
Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II
menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.
Setelah berhasil menduduki Palembang,
Britania merasa perlu mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah
menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan
Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung SMB II)
diangkat menjadi sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin
Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi
Duke of York’s Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto,
ditempatkan Meares sebagai residen.
Meares berambisi menangkap SMB II yang
telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa
pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu
Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak
dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya
digantikan oleh Mayor Robison.
Belajar dari pengalaman Meares, Robison
mau berdamai dengan SMB II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II
kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga
dilengserkan kembali pada Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat
dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.
Konflik dengan Belanda
Konflik dengan Belanda
Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat
Britania menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang
lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles
karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi
pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles
digantikan oleh John Fendall.
Belanda kemudian mengangkat Edelheer
Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang
dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin Diauddin.
Tindakannya berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni
1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan
Britania berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang
ke Cianjur.
Pada dasarnya pemerintah kolonial
Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya
dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang
dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah
Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia.
Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan
kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada
Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk
penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belanda
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal
sebagai Perang Menteng (dari kata Mutinghe) pecah pada 12 Juni 1819.
Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana
korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga
keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai
akhirnya Mutinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak menerima kenyataan itu.
Gubernur Jenderal Van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana JC
Wolterbeek dan Mayjen Herman Merkus de Kock dan diputuskan mengirimkan
ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya
melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya
(Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.
SMB II telah memperhitungkan akan ada
serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang
tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang,
dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan.
Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran sungai dimulai pada tanggal
21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek.
Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi.
Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan
penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819.
SMB II masih memperhitungkan dan
mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama
adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu,
pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad
Najamuddin III. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab
benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan.
Setelah melalui penggarapan bangsawan
dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase, serta persiapan
angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan
yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki
perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga
menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni
ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan
untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan.
Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan
suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang
bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia
memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan
harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini
hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda
secara tiba-tiba menyerang Palembang.
Serangan dadakan ini tentu saja
melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak
menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821
Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah
bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah
kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.
Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah
malam, SMB II beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan
Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Ternate
sampai akhir hayatnya 26 September 1852.
0 komentar:
Post a Comment