Biografi Pahlawan Nasional – Sisingamaraja XII
PEJUANG SEJATI MENOLAK JADI SULTAN
Raja Si Singamangaraja XII, seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat.
Raja Si Singamangaraja XII, seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat.
Perjuangannya untuk memerdekakan
‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si mata putih
(sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi
diartikan secara luas dalam rangka nasional.
Semua orang yang bermata hitam
dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata putih
(sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan
penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat
panglimanya yang berasal dari Aceh.
Dengan dasar itulah, sehingga ketika
pertempuran melawan penjajah Belanda di Balige tahun 1883, Si
Singamangaraja XII berupaya mendekati serdadu Belanda yang antara lain
terdiri dari saudara-saudara sebangsa dari Jawa yang jelas juga bermata
hitam. Ia mencoba memberitahukan persaudaraan di antara mereka
dibandingkan dengan orang Belanda, yang ketika itu diidentikkan dengan
sekelompok etnis bermata putih yang suka melakukan penindasan.
Raja Si Singamangaraja XII yang lahir
pada tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli, sebuah daerah di tepian Danau
Toba, ini diangkat menjadi raja pada tahun 1867 menggantikan ayahnya
Raja Si Singamangaraja XI yang meninggal dunia akibat penyakit kolera.
Sebagaimana leluhurnya, sejak Si Singamangaraja II, gelar Raja dan
kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun.
Sebagaimana dengan Si Singamangaraja I
sampai XI, beliau juga merupakan seorang pemimpin yang sangat menentang
perbudakan yang memang masih lazim masa itu. Jika beliau pergi ke satu
desa (huta), beliau selalu meminta agar penduduk desa tersebut
memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang,
orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.
Pada masa pemerintahannya, kegiatan
zending pengembangan agama Kristen oleh Nommensen Cs dari Jerman juga
sedang berlangsung di Tapanuli. Tidak begitu lama dengan itu, kekuasaan
kolonial Belanda pun mulai memasuki daerah Tapanuli. Maka untuk
menghadapi segala kemungkinan, ia pun mulai mengadakan
persiapan-persiapan dengan mengadakan musyawarah dengan raja-raja serta
panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak/Dairi.
Perang urat syaraf pun makin meningkat
pada kedua belah pihak. Walaupun sudah dicoba, jalan damai sudah tidak
dapat lagi ditempuh. Maka pada tanggal 19 Pebruari 1878 serangan mulai
dilancarkan pasukan Si Singamangaraja XII yaitu rakyat Tapanuli sendiri
terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung.
Pertempuran yang menewaskan banyak
penduduk tersebut akhirnya memaksa pasukan Si Singamangaraja mundur.
Tapi walaupun harus mundur dari Bahal Batu, semangat juang perlawanan
pasukan itu masih tetap tinggi terutama di desa-desa yang belum tunduk
pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Batu, dan Balige selaku
basis pasukan Si Singamangaraja XII ketika penyerangan ke Bahal Batu.
Sebaliknya di pihak Belanda, dengan
kemenangan di Bahal Batu tersebut, semakin berani mengejar terus pasukan
Si Singamangaraja XII sampai ke desa-desa yang tidak tunduk pada
kolonial. Dalam pengejaran tersebut, mereka selalu membakar desa dan
menawan raja-raja desa. Akibatnya, pertempuran pun berkobar di mana-mana
seperti di Sipintu-pintu, Tangga Batu, Balige, Bakkara dan sebagainya.
Bahkan dalam pertempuran kedua di
Balige, Si Singamangaraja XII sempat terkena peluru di atas lengan,
walau lukanya tidak sampai membahayakan nyawanya namun kuda putihnya si
hapas pili mati ketika itu. Ia pun melakukan perang gerilia.
Dengan begitu, Si Singamangaraja XII pun
terpaksa berpindah-pindah seperti dari Balige ke Bakkara kemudian ke
Huta Paung di Dolok Sanggul, selanjutnya ke Lintong (kampung pamannya
(tulang) Ompu Babiat Situmorang) dan kembali lagi ke Bakkara, begitulah
terkadang berulang. Dan ketika kedua kalinya Si Singamangaraja XII
menyingkir ke Lintong, Belanda pun menyerbu ke sana secara tiba-tiba
pada tahun 1989.
Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan
menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya
perlawanan gigih pasukan Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari
situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi, yang
kemudian selama 21 tahun tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan
Belanda.
Pada kurun waktu itu, beliau tetap
mengadakan perlawanan dengan cara melakukan kunjungan ke berbagai daerah
seperti ke Aceh dan raja-raja kampung (huta) di Tapanuli dengan maksud
agar hubungan di antara mereka tetap terjaga terutama memberi semangat
kepada mereka agar tidak mau tunduk pada Belanda. Akibatnya perlawanan
oleh raja-raja terhadap Belanda pun kerap terjadi. Pihak Belanda
meyakini, bahwa perlawanan yang dilakukan oleh raja-raja kampung itu
tidak lepas dari pengaruh Si Singamangaraja XII.
Pihak penjajah Belanda juga melakukan
upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan penobatan Si
Singamangaraja sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa
sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Si
Singamangaraja menolak tawaran itu.
Sehingga usaha untuk menangkapnya mati
atau hidup semakin diaktifkan. Dan setelah melalui pengepungan yang
ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya ketahuan oleh serdadu
Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa
tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan
Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menja Sultan
Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini
lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.
Dalam sejarah perjuangan nasional
Indonesia, ia seorang pejuang yang tidak mau berkompromi dengan Belanda.
Sehingga terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh
keluarganya melawan penjajah. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja Si
Singamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa
panglimanya yang berasal dari Aceh gugur pada saat yang sama yaitu
tanggal 17 Juni 1907 di Sionom Hudon. Kedua putranya itu yaitu putra
sulungnya Patuan Nagari dan Patuan Anggi sedangkan putrinya bernama boru
Lopian, srikandi sejati yang masih berumur 17 tahun.
Raja Si Singamangaraja XII tepatnya
gugur di hutan daerah Simsim, Sindias di kaki gunung Sitapongan, kurang
lebih 9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon, Tapanuli, Sumatera Utara.
(Disebut Sionom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah
itu yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan
Anakampun). Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Tarutung, kemudian
dipindahkan ke Sopo Surung Balige.
Keluarga Si Singamangaraja XII yang
turut gugur dalam pertempuran melawan kolonial Belanda tersebut bukan
hanya dua putra dan putri yang sangat disayanginya tersebut, tapi tidak
lama sebelumnya, abangnya yang bernama Ompu Parlopuk juga sudah gugur
ketika melancarkan perang Gerilya tersebut. Demikian halnya dengan sang
Permaisuri Raja Si Singamangaraja XII, boru Situmorang, juga telah lebih
dulu meninggal tidak lama sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII akibat
keletihan bergerilya di tengah hutan.
Bahkan, Pulo Batu, cucu yang sangat
disayanginya, harus meninggal di usia muda sebelum kakeknya. Raja Si
Singamangaraja XII alias Ompu Pulo Batu (Ompu Pulo Batu merupakan
penamaan yang diambil dari nama cucu laki-laki paling sulung dari
putranya paling sulung, dalam hal ini Pulo Batu merupakan anak sulung
dari Patuan Nagari), akhirnya harus sama-sama wafat dengan cucu yang
sebelumnya sangat diharapkannya menjadi penerus perjuangannya itu.
Perang Batak yang dipimpin Si
Singamangaraja XII di Tapanuli, Sumatera Utara yang pecah sejak tahun
1878 itu, akhirnya berakhir sudah. Sejarah mencatat, ketika gugurnya
sang pahlawan ini yang menjadi Gubernur Jenderal yaitu pemangku jabatan
Kerajaan Belanda yang tertinggi daerah kolonial di Nusantara adalah
Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz, sedangkan Gubernur Militer di Aceh
yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal G.O.E.van Daalen.
Dan dibawah pasukan Kapten Christoffel
alias ‘Si Macan Aceh’, seorang berkebangsaan Swiss yang sebelumnya hanya
merupakan serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi warga
negara Belanda, akhirnya sang pahlawan, Raja Si Singamangaraja XII gugur
tertembak.
Kapten Christoffel yang melaporkan
gugurnya Raja Si Singamangaraja XII di Tanah Batak kepada Gubernur
Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika itu membawa bukti jarahan berupa
Piso Gaja Dompak dan Stempel Kerajaan. Stempel kerajaan dan Piso Gaja
Dompak pun secara resmi disampaikan oleh Bataviaaschap Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di
Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada Museum di Gedung
Gajah (Jalan Merdeka Barat sekarang-red). Piso Gaja Dompak waktu itu
diberi tanda nomor 13425.
Mengenai pusaka yang satu ini, beberapa
kalangan anggota keluarga Raja Si Singamangaraja XII mengklaim, bahwa
Piso Gajah Dompak yang sebenarnya masih disimpan oleh anggota keluarga.
Sementara yang lain mengatakan bahwa salah seorang dari pihak boru
(pihak dari anak perempuan) yang menyimpannya. Bahkan ada pula yang
mengatakan bahwa Piso Gaja Dompak itu telah menghilang ke langit.
Piso Gaja Dompak itu sendiri adalah satu
keris yang panjangnya sekitar 60-70 cm dengan pegangan yang menyerupai
patung gajah. Menurut keluarga Si Singamangaraja dan berdasarkan hasil
penelitian berbagai sarjana, pusaka ini sudah ada sejak Si
Singamangaraja I yaitu sekitar pertengahan abad XVI Masehi. Bersama
stempel kerajaan, pusaka tersebut merupakan lambang penting dari
pemerintahan Raja Si Singamangaraja I sampai ke XII.
Perang yang berlangsung selama 30 tahun
itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat
termasuk keluarga Si Singamangaraja XII sendiri. Tapi walaupun Si
Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat
perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak
perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Si
Singamangaraja XII sendiri.
Di hati rakyat sudah tumbuh semangat
kemerdekaan dari segala bentuk penindasan seperti yang sudah ditanamkan
sang pahlawan. Namun perlawanan rakyat itu tidak lagi sebesar perlawanan
yang dipimpin Si Singamangaraja XII, sebab Belanda sudah semakin banyak
menguasai kampung-kampung. Di samping itu, ketika itu pemimpin
perlawanan rakyat itu pun belum ada yang bisa menyamai Si Singamangaraja
XII yang bisa menghimpun semua raja-raja di Tapanuli bahkan dari Aceh.
Sejak itu sejarah baru pun tertulis.
Daerah Aceh dan Sumatera Utara bagian pedalaman yang sampai tahun 1903
masih belum bisa dikuasai Belanda dan bahkan sebelum wafatnya Si
Singamangaraja XII pada tanggal 17 Juni 1907 itu, kekuasaan Hindia
Belanda di Nusantara masih minus Sumatera Utara bagian pedalaman,
akhirnya berakhir. Sejak itu lengkaplah seluruh wilayah Nusantara
menjadi daerah jajahan Belanda sebab Sumatera Utara bagian pedalaman
inilah yang merupakan daerah terakhir di Nusantara yang dimasukkan ke
dalam kekuasaan pemerintahan penjajahan Belanda.
0 komentar:
Post a Comment